I. Pendahuluan
Logika
berasal dari kata Yunani
kuno λόγος (logos) yang
berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Logika
merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir
(khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran
yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Orang
yang pertama kali menggunakan kata logika adalah Zeno dari Citium. Kaum Sofis,
Socrates, dan Plato tercatat sebagai tokoh-tokoh yang ikut merintis lahirnya
logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan Kaum
Stoa. Logika dikembangkan secara progresif oleh bangsa Arab dan kaum muslimin
pada abad II Hijriyah. Selanjutnya logika mengalami masa dekadensi yang
panjang. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Pada masa itu
digunakan buku-buku logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fonts Scientie dari
John Damascenus, buku-buku komentar logika dari Bothius, dan sistematika logika
dari Thomas Aquinas. Semua berangkat dan mengembangkan logika Aristoteles.
Pada abad XIII sampai dengan abad XV
muncul Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus, Wilhelm Ocham menyusun
logika yang sangat berbeda dengan logika Aristoteles yang kemudian kita kenal
sebagai logika modern. Raymundus Lullus mengembangkan metoda Ars Magna, semacam
aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran – kebenaran tertinggi.
Francis Bacon mengembangkan metoda induktif dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum . W.Leibniz menyusun logika aljabar untuk menyederhanakan pekerjaan
akal serta memberi kepastian. Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu
logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas
pengalaman. Selain itu George Boole (yang mengembangkan aljabar Boolean),
Bertrand Russel, dan G. Frege tercatat sebagai tokoh-tokoh yang berjasa dalam
mengembangkan Logika Modern.
II. Dasar-dasar Logika
Konsep
bentuk logis adalah inti dari
logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah
argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini
logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara
kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika
silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah
contoh-contoh dari logika formal.
Dasar
penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang disebut logika
deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif.
Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau
merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan
valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif
dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis
dari premis-premisnya. Penalaran induktif—kadang
disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian
fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
III. Macam-macam logika
A. Logika alamiah
Logika
alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus
sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan
yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
B. Logika ilmiah
Logika
ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.
Logika
ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam
setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat
bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika
ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.
C. Logika Artificial
sering
pula disebut logika tradisional. Dikatakan demikian, karena logika ini lahir
berdasarkan tradisi kuno sejak filosof Aristoteles berhasil merumuskan
kaidah-kaidah logika dalam bukunya yang terkenal Organon yang maknanya
instrument atau alat. Yang dimaksud adalah alat untuk berpikir secara sehat dan
benar.
D. Logika Formal
mempelajari
azas-azas, kaidah-kaidah, atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati agar
manusia dapat berpikir secara atau benar untuk mencapai kebenaran. Logika
formal ini untuk mempelajari filsafat itu secara mendalam. Logika formal ini
lazim disebut pula Logika Minor.
E. Logika Materiil
mempelajari
langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya
dengan kenyataan praktis yang riil. Apakah hasil kerja logika formal itu sudah
sesuai dengan kenyataannya atau belum. Logika materiil mempelajari : (1)
asal usul dan sumber pengetahuan ; (2) alat-alat pengetahuan ; (3)
proses terjadinya pengetahuan ; (4) batas-batas penjelajahan
pengetahuan ; dan akhirnya (5) merumuskan metode ilmu pengetahuan tersebut.
Logika materiil disebut pula Logika Mayor. Logika mayor inilah yang menjadi
sumber yakni menimbulkan filsafat mengenal (kinnesleer) dan filsafat ilmu
pengetahuan (wetenschapsleer).
IV. Kegunaan logika
(1)
Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang
dapat dipergunakan dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
(2)
Pelajaran logika menambah daya pikir abstrak dan dengan demikian melatih dan
mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
(3)
Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan
otoriti.
Berikut
adalah contoh artikel yang memuat logika bahasa indonesia.
Oleh:
Geko Kriswanto
|
Suatu
pengajaran bahasa selalu berhakikat pada proses pembentukan logika dalam diri
peserta didik (dalam mengkomunikasikan ide dengan bahasa yang dipelajarinya).
Acuan pokok yang paling mendasar ini agaknya telah diabaikan dalam praktik
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Kurikulum terbaru
sebenarnya telah memberikan peluang yang luas bagi guru untuk menggali
kreativitas, baik yang menyangkut sumber bahan maupun metode penyajian.
Kecenderungan
lama masih saja muncul dengan mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang
kira-kira akan keluar pada waktu ujian akhir. Ukuran keberhasilan pengajaran
bahasa Indonesia
hanya ditolok dengan ketepatan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam
testing. Keadaan pembelajaran seperti itu telah menjadi unsur dominan yang
menggagalkan proses pembentukan logika dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia mulai dilirik bangsa lain untuk dipelajari sebagai suatu disiplin
ilmu, tetapi di negaranya sendiri masih diposisikan sebagai mata pelajaran
yang ambigu. Kita tidak bisa berpaling dari latar belakang historis pada 28
Oktober 1928, tetapi keputusan yang menetapkan nilai minimal harus enam (6)
untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, justru mengebiri perkembangannya.
Dengan
demikian penelitian dan diskusi ilmiah tentang bahasa Indonesia menjadi
sia-sia, sebab hanya bergerak pada tataran akademisi kampus belaka. Sekolah
sebagai basis perkembangannya telah terjebak ke dalam pengajaran teori saja.
Bahasa sebagai sarana untuk membentuk logika, akhirnya terwujud dalam pengerdilan
materi untuk menjawab soal-soal testing dan ujian akhir.
Tahun
pelajaran 2003/2004 diumumkan bahwa kelulusan siswa ditentukan oleh
pencapaian nilai di atas 4,00, berarti dalam ujian akhir siswa minimal harus
mencapai 4,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (nasional maupun
lokal). Pengumuman ini diharapkan berlaku pula untuk nilai mata pelajaran
Bahasa Indonesia, agar kemandiriannya sebagai sebuah disiplin ilmu
sungguh-sungguh murni.
Tahun
yang lalu, Juwono Sudarsono pernah menulis artikel berjudul "Delapan
Kompetensi Dasar Pendidikan dan Kebudayaan" (Kompas, 24 Agustus 1998).
Pada bagian awal tulisannya menekankan bahwa kedelapan kompetensi ini
bermanfaat dalam menunjang kegiatan belajar-mengajar serta dalam
menggairahkan kebudayaan nasional. Kedelapan kompetensi tersebut adalah
membaca, menulis, mendengar, menutur, berhitung, mengamati, mengkhayal, dan
menghayati. Apabila dicermati, sebagian besar
kompetensi
tersebut berkaitan erat dengan pengajaran bahasa Indonesia.
Namun,
bagaimana peranan pelajaran bahasa Indonesia dalam menumbuhkan
kompetensi-kompetensi di atas? Pembelajaran bahasa Indonesia tidak akan mampu
mencapainya selagi masih dimuati dengan unsur-unsur politis. Secara konkret
begini, nilai empat (4) atau lima
(5) untuk pelajaran bahasa Indonesia masih dihubung-hubungkan dengan paham
kebangsaan siswa.
Siswa
yang mencapai nilai di bawah enam (6) berarti rasa cintanya terhadap Tanah
Air, pengetahuan sejarah nasionalnya, bahkan moralitas kebangsaannya
dipandang sangat rendah. Kriteria tidak tertulis demikian justru mengebiri
tujuan pembelajaran bahasa yang bermaksud membentuk logika siswa.
Krisis
multidimensional yang masih melanda Indonesia sekarang, seandainya
dirunut secara jernih, mungkin pula disebabkan pengajaran logika berbahasa
yang salah kaprah. Kegamangan masyarakat terhadap arus globalisasi bersumber
pada logika dalam berpikir. Cara berpikir seseorang sangat ditentukan oleh
pengajaran bahasa yang pernah diterimanya. Kita tidak bisa berharap dari
anak-anak TK yang bermain huruf-huruf, siswa SD perkotaan yang mengarang
tentang sawah-sawah menghijau, siswa SLTP yang jarang mengungkapkan ekspresi,
dan siswa SMA/SMK yang kebingungan membedakan premis mayor dan premis minor.
Sinyalemen
ini memang bukan sesuatu yang mutlak, melainkan sebagai upaya alternatif
untuk menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi timbulnya krisis. Jadi,
pengajaran bahasa Indonesia sangat membutuhkan kebijakan untuk menata kembali
praktik-praktik pembelajaran dan penilaian yang selama ini berlangsung. Pada
abad ke-21 negara ini memerlukan suatu masyarakat yang mempunyai landasan
berpikir kuat, salah satunya dengan merintis pola pembelajaran bahasa
Indonesia secara benar.
Karangan
ini sekadar mengingatkan bahwa pengajaran bahasa (Indonesia) itu penting. justru
pada saat arus globalisasi mengalir deras ke semua penjuru kehidupan. Bahasa
Indonesia yang telah dibangun dengan susah-payah telah menjadi media
komunikasi paling andal dari Sabang sampai Merauke.
Geografis
negara Indonesia
yang terbentang luas, ternyata mampu membudayakan satu bahasa nasional bagi
rakyatnya, hal ini harus dipandang sebagai suatu bentuk keberhasilan. Namun,
rasa kebanggaan ini masih perlu ditata kembali untuk mendudukkan bahasa
Indonesia menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
|
|
V. komentar
Logika
sebagai cabang dari bahasa indonesia sekarang ini masih perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena merupakan hal yang
berhubungan dengan nalar manusia. Umumnya masyarakat hanya menginginkan semua
yang pasti dan telah membudaya di sekitar mereka, walaupun sebenarnya kebiasaan
itu salah tapi mereka membiarkan hal itu karena telah di wariskan dari generasi
sebelum mereka. Masyarakat juga perlu mengubah persepsi mereka tentang
keberhasilan, tidak lagi menilai
keberhasilan dari seberapa besar nilai akademis yang bisa tercapai dalam suatu
lembaga yang biasanya di hubungkan dengan kemampuan akademis murid tersebut di
sekolah, atau menghubungkan nilai tertulis itu dengan seberapa besar rasa
cintanya kepada Indonesia, bahwa yang
penting itu proses yang membuat orang mengerti
mengapa logika itu perlu dan apa gunanya, bukan hanya nilai hasil test
yang besar yang bisa mereka peroleh agar lulus ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar